Jumat, 16 Mei 2014

PERUBAHAN BUDAYA DI INDONESIA

       A.    Pendahuluan
Globalisasi Merupakan Salah Satu Penyebab
Perubahan Budaya
Dari catatan sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa budaya memang telah berubah. Pada masa lalu terdapat budaya besar seperti budaya Mesopotamia, budaya Mesir kuno, budaya Babilonia, budaya Romawi, tetapi kini budaya tersebut telah tergusur dan kita dapat melihat peninggalan-peninggalan budaya di masa lampau di museum-museum. Contoh warisan budaya yaitu piramid dari budaya Mesir kuno.
Budaya pada masa lampau memiliki relevansi dengan budaya masa sekarang dan masa yang akan datang. Manusia diberkahi pikiran untuk terus berinovasi, begitu pula dengan perubahan budaya yang terus berlangsung dan tidak akan berhenti selama manusia masih berpijak di muka bumi ini. Manusia meninggalkan jejak perubahan seperti perjalanan evolusi manusia hingga ke masa kini.
Kemajemukan budaya yang diwariskan nenek moyang banyak yang telah ditinggalkan dan mulai terkikis di masa kini. tradisi telah bergeser dan ditinggalakan oleh masyarakat.
Perjalanan perubahan dalam kebudayaan tidak berhenti sampai disitu, pengaruh agama yang berkembang dalam masyarakat ambil bagian di dalamnya. Seperti contohnya pada waktu penyebaran agama Hindu Budha dari India ke tempat atau pulau-pulau di luar juga membawa budaya-budaya yang pada akhirnya berkembang di berbagai tempat.
Manusia beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan baru, perpaduan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda menciptakan sebuah bentuk budaya baru yang kemudian diterima oleh masyarakat luas, namun budaya-budaya ini pun akan diuji oleh waktu.
Pada era sekarang, masyarakat diuji ketahanannya dari dahsyatnya serbuan berbagai budaya. Sama seperti ketika manusia prasejarah yang pada waktu itu dihadapkan dengan kebudayaan asing / luar dan mulai perlahan menerimanya, begitu pula dengan kondisi masa sekarang. Pada dasarnya apa yang terjadi di masa lalu akan terulang kembali.
Proses globalisasi baik melalui mass media atau komunikasi langsung dan berbagai informasi yang terbuka mengakibatkan berbagai kebudayaan di dunia bertemu dan terjadi percampuran kebudayaan yang lebih besar. Perubahan yang terjadi dalam budaya masyarakat merupakan hasil dari pertemuan antara nilai yang satu dengan yang lain. Budaya dunia mempengaruhi budaya lokal. Perubahan budaya, apakah itu budaya besar ataupun budaya lokal merupakan konsekuensi dari benturan-benturan antara beragam budaya.
Benturan-benturan budaya yang terjadi tidak selalu negatif hasilnya, dampak positifnya adalah nilai-nilai budaya yang tinggi makin dikenal, seperti bekerja keras, apresiasi terhadap hal-hal yang baik, menghargai waktu, bekerja secara rasional dan efisien merupakan budaya modern saat ini.  Tatkala budaya mengalami perubahan bukan berarti nilai-nilai baik yang terkandung di dalamnya hilang begitu saja diterkam perubahan. Justru perubahan menghsilkan yang baik dan tidak semua perubahan itu bersifat negatif.
Namun tidak dapat dipungkiri banyak nilai-nilai luhur budaya mulai terkikis dan bahkan mungkin suatu saat akan hilang seiring berjalannya waktu. Pada kenyataannya tradisi nenek moyang tidak dapat terus bertahan seirama jaman. Tradisi di masa lal tergeser dengan dunia modern. Budaya modern saat ini bermuara pada perkara hiburan, dunia gemerlap, dunia anak muda, teknologi canggih dan semacamnya.
Tapi tidak berarti bahwa budaya di masa lalu telah benar-benar mati di masa sekarang ini, masih ada masyarakat yang memegang teguh budaya dan melestarikan warisan nenek moyang. Lalu bagaimana dengan kebudayaan di masa depan ? Tentunya perubahan akan selalu terjadi sebab tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri ..
a.         Perubahan Kebudayaan Masa Lalu
Pada masa lalu manusia menggunakan bebatuan sebagai tempat untuk menulis sesuatu. Hal ini terbukti dengan ditemukannya artefak dan fosil-fosil hewan laut di Bukit Azimut, Cirebon. Bukit ini menjadi kawasan konservasi yang diduga menjadi pusat kebudayaan Cirebon pada masa lalu.

Penemuan artefak dan fosil ini merupakan peninggalan kerajaan Purwasanggarung yang berdiri pada tahun 300-an Masehi pada zaman kerajaan Tarumanegara berkuasa
.
Mereka menggunakan bebatuan tersebut sebagai tempat menulis karena belum ditemukannya atau belum adanya kertas pada zaman tersebut.



b.           Perubahan Kebudayaan Masa Kini
Pada masa kini rak-rak buku pada sebuah toko buku dipenuhi dengan ratusan novel yang beragam. Meskipun ada yang merupakan terjemahan dari novel berbahasa asing, namun ternyata sebagian besar yang disana meupakan hasil karya penulis lokal. Menariknya, novel-novel lokal itu juga bervariasi, tidak hanya sekedar novel bergenre chicklit atau teenlit tetapi ada juga novel berdasarkan skenario film. Penulisnya pun tidak hanya itu-itu saja. Terlihat cukup banyak nama-nama baru. Dan semuanya nampak menonjol, menarik. Keadaan ini jauh berbeda dengan keadaan ditahun 80-90an dimana secara umum hanya ada novel lokal bikinan angkatan Hilman ‘lupus’.

Melihat perkembangan novel-novel lokal yang begitu semarak, nampaknya budaya menulis mulai berkembang dengan cukup pesat di zaman sekarang. Dengan itu semakin menguat dengan semakin ramainya aktivitas menulis diblog belakangan ini. Acara-acara talkshow, seminar, atau workshop blog semakain sering diadakan dimana-mana.

c.           Perubahan Kebudayaan Masa Depan
Pendidikan berkewajiban mempersiapkan generasi baru yang sanggup menghadapi tantangan zaman baru yang akan datang. Pengembangan pendidikan dilakukan secara menyeluruh. Pembangunan generasi baru ini menjadi kunci keberhasilan bangsa dan negara di masa yang akan datang.

Tantangan-tantangan yang akan dihadapi masa depan yaitu, mampu menyesuaikan diri dan memanfaatkan peluang globalisasi, mampu menyaring dan memanfaatkan arus informasi, mampu bekerja efisien.

Tuntutan manusia dimasa depan, yaitu ketanggapan terhadap berbagai masalah, kreativitas didalam menemukan alternatif pemecahan, dan efisiensi dan etos kerja yang tinggi.

Upaya mengantisipasi masa depan, yaitu aspek yang paling berperan dalam individu untuk memberi arah antisipasi, pengembangan budaya dan sarana kehidupan, dan tentang pendidikan.

Sumber:


ü  http://putryseffen-3blog.blogspot.com/2010/12/perubahan-kebudayaan-masa-lalu-masa.html

KONFLIK ANTAR SUKU / BANGSA

     A.   Pendahuluan
Konflik Membuat Kita Menjadi Anarkis
Konflik antara suku bangsa di Indonesia sudah sering sekali terjadi. Tak jarang pun konflik yang berlangsung langsung tersebut menyebabkan terjadinya pertumpahan darah/perkelahian pada pihak-pihak yang terkait. Meski pun seringkali sumber penyebab pro dan kontra tersebut adalah hal yang tidak terlalu penting sekali.
Fanatisme kesukuan yang tinggi membuat permasalahan yang tidak terlalu penting tersebut berubah menjadi masalah yang sangat serius. Rasa gotongroyong/solidaritas sangat kecil dan pola pemikiran yang sangat dangkal membuat merka tidak berpikir panjang dalam menyikapi permasalahan yang timbul tersebut. Oleh karena itu, proses penyelesaian masalah pun kadangkala dilakukan dengan cara kekerasan tanpa mendepankan dialog dari pihak bertikai.
    B.   Penyebab konflik
Konflik antar suku bangsa di Indonesia buka menjadi sebuah wacana baru. Permasalahan antara suku di Indonesia ini bermulah sejak masa kelam di era penjajahan Belanda. Hal ini disebabkan oleh keadaan bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai macam suku bangsa. Tiap-tiap suku memiliki tata budaya yang berbeda satu sama lain.
Secara garis besar, ada beberapa hal yang sering menjadi penyebab terjadinya konflik antar suku bangsa di Indonesia. Beberapa penyebab tersebut antara lain;
·                     Sejarah masa lalu, dimana pada masa lalu kehidupan antar suku diwarnai persaingan yang bersujung pada konflik untuk memperebutkan status dan juga gengsi
·                     Kecemburuan ekonomi, biasanya, suku pendatang yang mampu meraih keberhasilan di bidang ekonomi akan menimbulkan kecemburuan pada penduduk asli, hal ini akan menyebabkan terjadinya gesekan karena menganggap bahwa suku pendatang merebut potensi ekonomi yang seharusnya mampu menyejahterakan suku asli.
·                     Rasa fanatisme sempit, hal ini juga menyebabkan ada perasaan bahwa kepentingan kelompok harus dibela, terlepas dari posisi benar atau salah.
·                     Kurangnya pendidikan agama, pendidikan agama sangat penting untuk menahan hawa nafsu yang ingin membuat kita lupa pada Allah SWT.


    C.   Dampak Konflik Antar Suku

Adanya berbagai konflik antar suku yang terjadi tersebut akan menimbulkan dampak baik yang bisa dirasakan secara langsung atau tidak. Dampak ini bukan hanya menimpa pada kelompok yang tidak terlibat konflik saja, tetapi tidak kemungkinan juga menimpa pada kelompok yang tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut.

Beberapa dampak konflik antar lain:

Ø  Menimbulkan hilangnya rasa aman, masyarakat yang tinggal di kawasan rawan konflik akan selalu di hantui ketakutan apabila konflik kembali terulang.
Ø  Hilangnya persatuan bangsa, denga  konflik antar suku tersebut, maka persatuan bangsa akan mudah hilang karena masing-masing pihak enggan untuk diajak berdamai/rujuk.
Ø  Rusaknya tat kehidupan, konflik membuat masyarakat kehilangan kesempatan untuk bekerja, mencari nafkah atau mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya.

    D.   Contoh Konflik Antar Suku Bangsa

  v  Perang Antar Suku - Pertikaian Suku Dayak dan Suku Madura

Setidaknya sudah terjadi dua kali kerusuhan besar antara Suku Dayak dan Suku Madura, yaitu pada peristiwa Sampit (2001) dan di Senggau Ledo (1996). Kedua kerusuhan besar ini meluas sampai keseluruh wilayah Kalimantan dan berakhir dengan pengusiran ribuan warga Madura yang hingga mencapai 500-an jiwa. Perang kedua suku ini telah menjadi masalah sosial yang me-nasional.
Berikut empat hal mendasar yang menjadi penyebab terjadinya perang ke dua suku ini,
yaitu :


1.    Perbedaan Budaya Antara Suku Dayak dan Suku Madura

Perbedaan budaya seperti inilah yang menjadikan alasan mendasar mengapa perang antar suku ini bisa terjadi. Masalah yang terjadi antara Suku Dayak dan Madura terbilang sangat sederhana, karena ada keterkaitan dengan kebudayaan, maka terjadilah hal seperti itu.
Misalnya seperti permasalahan senjata tajam, bagi Suku Dayak senjata tajam sangatlah dilarang untuk dibawa ke tempat umum. Menurut mereka apabila ada sesorang membawa senjata tajam ditempat umum sekalipun dia hanya bertamu tetap saja dianggap sebagai ancaman atau ajakan untuk berkelahi. Lain halnya dengan Suku Madura mereka biasa menyelipkan senjata tajam itu kemana saja dan hal seperti itu lumrah di daerah kelahirannya di Madura. Menurut Suku Dayak senjata tajam bukanlah untuk melukai sesorang apabila hal tersebut sampai tejadi maka hukum adat pun berlaku bagi pelakunya.


2.       Perilaku yang Tidak Menyenangkan

Bagi suku Dayak mencuri barang seseorang dalam jumlah banyak adalah hal yang tidak masuk akal, apabila dilanggar pemilik barang tersebut akan sakit dan meninggal. Sementara orang Madura seringkali terlibat kasus pencurian dengan korbannya suku Dayak. Pencurian seperti inilah yang menjadi pemicu polemik perang antar suku tersebut.



3.       Pinjam Memimjam Tanah

Kali ini masalahnya masih berkaitan dengan adat-istiadat atau kebiasaan. Di dalam suku Dayak membolehkan pinjam meminjam tanah adalah hal yang tanpa pamrih. Dengan kepercayaan lisan orang suku Madura dibolehkan untuk menggarap tanah tersebut, namun seringkali orang Madura menolak mengembalikan tanah pinjaman tersebut dengan alasan karena merekalah yang menggarap tanah tersebut selama ini.
Di dalam suku Dayak hal seperti ini disebut dengan balang semaya (ingkar janji) yang harus dibalas dengan kekerasan, maka terjadilah perang yang tidak bisa dihindari lagi oleh ke dua belah pihak suku tersebut.


4.       Ikrar Perdamaian yang Dilanggar

Dalam suku Dayak ikrar perdamaian harus bersifat abadi. Pelanggaran akan dianggap sebagai pelecehan adat sekaligus menyatakan permusuhan. Sementara orang Madura melanggar ikrar perdamaian, dan lagi-lagi hal seperti inilah yang memicu konflik antar ke dua suku.


  v  Perbedaan Stereotipe


Stereotipe itu sendiri adalah pendapat atau prasangka mengenai orang-orang dari kelompok tertentu, dimana pendapat tersebut hanya didasarkan bahwa orang-orang tersebut termasuk dalam kelompok tertentu tersebut. Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif. Sebagian orang menganggap segala bentuk stereotipe negatif. Stereotipe jarang sekali akurat, biasanya hanya memiliki sedikit dasar yang benar, atau bahkan sepenuhnya dikarang-karang.

Setiap suku tentu memiliki adat-istiadat dan kebiasaan tertentu yang beragam. Keanekaragaman tersebut tentu memabawa dampak dan kosekuensi sosial yang beragam pula. Jika hal ini tidak dapat disikapi dengan baik maka perbedaan tersebut justru akan terus manjadi faktor utama penyebab terjadi perang antar suku.
Contoh yang sangat nyata yang dapat kita lihat adalah stereotipe orang Madura yang identik dengan watak kasar dan keras. Yang sering menyelesaikan masalah dengancarok, mengakhiri sengketa dengan duel maut yang berujung kematian. Latar belakang penyebab adalh dendam dan kerabat atau keluarga yang terluka.


  v  Unsur-unsur Pembentuk Identitas Nasional

Identitas nasional merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas, yaitu:

   o   Suku Bangsa
Suku bangsa adalah golongan yang bersifat ada sejak lahir, yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin.

   o   Agama
Sesuai dengan fundamental falsafah Indonesia yakni Pancasila, sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa" dalam sila ini terkandung bahwa Negara kita didirikan atas dasar agama dan warga negaranyapun wajib memilih 1 diantara 5 agama yang ada di Indonesia.

   o   Kebudayaan
Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk berkelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya.

   o   Bahasa
Di Indonesia terdapat beragam bahasa beserta logatnya. Kita ingat dengan peristitwa histories pada tahun 1928 golongan pemuda Indonesia menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan melalui peristiwa historis yang disebut sumpah pemuda.

Sumber :


KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

Kerukunan Dalam BerAgama
A. Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia
Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.
Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.

B. Kendala-Kendala
I.                    Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.

II.                  Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.

III.                Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.

Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan.

C. Solusi
I.                     Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai sejarah konvensional dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai sejarah baru (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai sejarah sosial (social history) sebagai bandingan dari sejarah politik (political history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.

Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah negara Kristen, telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu?ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis? pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai non-agama. Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.


II.                 Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.

Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.

Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.

Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.

Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

Sumber :

http://www.garnet.blogdetik.com/2009/12/12/kerukunan-antar-umat-beragama-di-indonesia/